Putusan Pengadilan Niaga dalam kasus Ari Bias vs Agnez Mo memicu kontroversi terkait penentuan pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran royalti hak cipta. Penulis berpendapat bahwa putusan tersebut keliru dalam mengidentifikasi “pengguna” berdasarkan UU Hak Cipta dan peraturan terkait. Kekeliruan ini berpotensi menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum hak cipta di Indonesia.
Permasalahan utama terletak pada penafsiran yang sempit terhadap definisi “pengguna” dalam konteks konser musik. Kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas pembayaran royalti sangat penting untuk melindungi hak-hak pencipta lagu. Artikel ini akan menganalisis putusan tersebut, menjelaskan kerangka hukum yang relevan, dan mengkaji pendapat para ahli di bidang hukum kekayaan intelektual.
Siapa yang Menjadi “Pengguna” dalam Konser Musik?
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 dan Keputusan LMKN Nomor 20160512KM/LMKN Pleno/Tarif Royalti/2016, serta UU Hak Cipta dan PP 56/2021, “pengguna” didefinisikan sebagai pihak yang memperoleh keuntungan ekonomi dari konser atau pertunjukan.
Dalam konser yang melibatkan artis dan penyelenggara (EO), EO-lah yang umumnya menjadi pengguna. Namun, jika artis menyelenggarakan konser sendiri, maka artis tersebutlah yang menjadi pengguna. Hal ini selaras dengan Pasal 1 angka 24 UU Hak Cipta yang mendefinisikan “Penggunaan Secara Komersial”.
Analisis Putusan Pengadilan Niaga: Kekeliruan dalam Penafsiran
Putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan Agnez Mo sebagai “pengguna” dinilai keliru karena mengabaikan fakta-fakta penting. Agnez Mo tidak menghadirkan bukti perjanjian dengan PT. ABG atau komunikasi yang membuktikan kewajiban membayar royalti.
Pengadilan tampaknya hanya berfokus pada status Agnez Mo sebagai artis atau pelaku pertunjukan. Padahal, Pasal 9 UU Hak Cipta menggunakan istilah yang lebih luas, yaitu “setiap orang”, bukan hanya “pelaku pertunjukan”. Perbedaan ini sangat signifikan.
Definisi Pelaku Pertunjukan vs. Pengguna
Pasal 1 angka 6 UU Hak Cipta mendefinisikan pelaku pertunjukan secara spesifik. Namun, menyamakan “pelaku pertunjukan” dengan “pengguna” tanpa mempertimbangkan peran penyelenggara konser merupakan kesalahan interpretasi.
Dengan logika tersebut, artis selalu dianggap sebagai pengguna, terlepas dari siapa penyelenggara konser tersebut. Hal ini akan menciptakan preseden yang berbahaya dan bertentangan dengan semangat UU Hak Cipta.
Pendapat Para Ahli dan Implikasinya
Saksi dan ahli yang dihadirkan Ari Bias telah menjelaskan bahwa tanggung jawab pembayaran royalti umumnya berada pada pihak penyelenggara (EO). Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Johnny Maukar, Komisioner LMKN, yang menyatakan bahwa LMKN menagih royalti kepada promotor, bukan pelaku pertunjukan.
Pendapat senada disampaikan oleh Prof. Dr. Agus Sardjono, Guru Besar Hak Kekayaan Intelektual, yang menekankan kewajiban EO untuk meminta izin kepada pencipta lagu. Kesaksian dan pendapat para ahli ini mempertegas kekeliruan putusan pengadilan.
Putusan Pengadilan Niaga dalam kasus ini menimbulkan kekhawatiran akan konsekuensi yang lebih luas. Interpretasi yang sempit terhadap UU Hak Cipta dapat mengancam hak-hak pencipta lagu dan menciptakan ketidakpastian hukum dalam industri musik. Perlu adanya kejelasan dan konsistensi dalam penegakan hukum hak cipta untuk menciptakan lingkungan yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat. Harapannya, putusan ini dapat menjadi pelajaran berharga untuk menghindari kesalahan serupa di masa mendatang.