Dua dekade lalu, tepatnya tahun 2004, film 28 Days Later hadir dan langsung memikat banyak penonton. Film ini, yang mengisahkan penyebaran virus mematikan yang mengubah manusia menjadi zombie haus darah, dianggap sebagai salah satu film zombie terbaik di zamannya.
Kesuksesan 28 Days Later, arahan sutradara Danny Boyle dan penulis Alex Garland, berlanjut dengan sekuelnya, 28 Weeks Later (2007), garapan Juan Carlos Fresnadillo. Meskipun tidak sesukses pendahulunya, film kedua ini tetap mendapat apresiasi tinggi dari penggemar.
Kini, 21 tahun setelah film pertama, Boyle dan Garland kembali dengan 28 Years Later. Namun, film ketiga ini, menurut sudut pandang penulis, gagal memenuhi ekspektasi.
Sinopsis 28 Years Later
Berlatar 28 tahun setelah wabah Rage Virus, Eropa dilanda kekacauan. Beberapa daerah bertahan hidup seperti di zaman abad pertengahan, bersembunyi di benteng dan hanya bersenjatakan panah. Kisah ini berpusat pada keluarga Jamie, Isla, dan Spikey yang hidup terisolasi di sebuah pulau kecil.
Jamie dan Spikey melakukan perjalanan berbahaya ke daratan utama untuk berlatih membunuh zombie dan mencari persediaan. Isla tertinggal karena sakit parah tanpa akses ke perawatan medis.
Setelah kembali, Spikey menemukan informasi tentang keberadaan seorang dokter, Ian Kelson, yang diasingkan di daratan utama. Didorong keinginan untuk menyembuhkan ibunya, Spikey dan Isla kembali bertualang ke daratan utama.
Analisis Film: Awal yang Menjanjikan, Akhir yang Mengecewakan
Awal film berhasil membangun suasana mencekam dan penuh keputusasaan. Penggunaan narasi audio puisi ‘Boots’ karya Rudyard Kipling sangat efektif dalam menciptakan atmosfer yang mencekam dan memikat.
Akting para pemain utama, termasuk Alfie Williams sebagai Spikey, patut diapresiasi. Namun, sayangnya, kualitas film menurun drastis di pertengahan cerita.
Plot menjadi kacau dan tidak terarah. Contohnya, adegan di mana Spikey dan Isla hampir tewas, lalu diselamatkan oleh Dr. Kelson yang membius zombie kuat, namun mereka malah meninggalkannya tanpa membunuhnya. Ini terasa tidak masuk akal dan mengurangi ketegangan.
Adegan Isla membantu zombie melahirkan juga sangat aneh dan tidak sesuai dengan genre horor, malah terasa konyol dan tidak masuk akal. Ketegangan yang terbangun di awal film pun hilang begitu saja.
Film ini beralih menjadi drama keluarga yang terlalu sentimental, melewati aspek horor yang seharusnya menjadi inti cerita. Klimaks film terasa hambar dan tidak memuaskan, menunjukkan kebingungan sutradara dalam eksekusi akhir.
Kesimpulan
28 Years Later menawarkan visual yang apik dan desain zombie yang efektif. Film ini memiliki potensi besar, namun sayang terhambat oleh plot yang kacau dan kehilangan arah di bagian akhir. Kehilangan fokus ini membuat film gagal mencapai potensi penuhnya dan mengecewakan penggemar.
Meskipun demikian, film ini tetap menghibur berkat beberapa elemen positif di awal cerita. Namun, sebagai sebuah film zombie, 28 Years Later tidak berhasil melampaui dua film pendahulunya.
Secara keseluruhan, kekecewaan utama terletak pada perubahan drastis alur cerita yang membuat film kehilangan keseimbangan antara unsur horor dan drama. Hal ini membuat 28 Years Later menjadi sebuah film yang memiliki potensi besar, namun gagal mewujudkannya.





