Job fair, atau bursa kerja, belakangan menjadi sorotan tajam. Banyak pihak meragukan efektivitasnya, bahkan menyebutnya sebagai formalitas belaka dalam proses rekrutmen.
Keraguan ini mencuat setelah sebuah video viral di media sosial mengkritik job fair sebagai ajang pencitraan perusahaan dan pemenuhan target kinerja (KPI) instansi pemerintah. Kejadian kericuhan di job fair Pemkab Bekasi pada 25 Mei 2025, yang dipadati 25.000 pencari kerja untuk 2.500 lowongan, semakin memperkuat kritik ini.
Tanggapan Pemerintah dan Perusahaan atas Kritik Job Fair
Menanggapi kontroversi ini, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengakui adanya praktik job fair yang hanya formalitas. Namun, ia menekankan bahwa pemerintah tetap berupaya membangun sistem penyediaan lapangan kerja yang mudah diakses masyarakat.
Yassierli menyatakan bahwa kewajiban pelaporan lowongan kerja bagi perusahaan menjadi kunci. Pemerintah akan terus menindaklanjuti hal ini untuk mendistribusikan informasi lowongan kerja kepada pencari kerja.
Ia juga menegaskan pentingnya perusahaan turut serta dalam upaya ini. Meskipun mengakui adanya perusahaan yang hanya menjadikan job fair sebagai formalitas, ia optimistis bahwa inisiatif pemerintah ini tetap dihargai.
Efektivitas dan Frekuensi Pelaksanaan Job Fair
Menaker Yassierli menyarankan agar job fair tidak perlu terlalu sering diadakan. Persiapan matang dan komprehensif sangat penting untuk keberhasilannya.
Persiapan tersebut meliputi penyediaan layanan pengantar kerja, konseling karier, dan informasi peluang wirausaha. Pemerintah berharap job fair menjadi bukti nyata kehadiran negara dalam membantu pencari kerja.
Kepala Biro Humas Kemenaker, Sunardi Manampiar Sinaga, menambahkan bahwa banyak karyawan yang berhasil diterima bekerja melalui job fair. Hal ini karena perusahaan dapat melakukan wawancara langsung dengan calon karyawan tanpa biaya.
Solusi dan Langkah Ke Depan untuk Meningkatkan Efektivitas Job Fair
Ketidakhadiran perusahaan yang serius dalam job fair menjadi masalah yang perlu ditangani. Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan job fair.
Selain itu, perlu dipertimbangkan untuk menggabungkan platform online dan offline guna meningkatkan jangkauan dan aksesibilitas informasi lowongan kerja. Peningkatan kualitas informasi dan layanan pendukung di job fair juga penting.
Lebih lanjut, kerjasama yang lebih erat antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga pelatihan vokasi dapat membantu menciptakan job fair yang lebih efektif dan bermanfaat bagi pencari kerja.
Dengan strategi yang lebih terarah dan kolaboratif, job fair dapat menjadi jembatan yang efektif antara pencari kerja dan peluang kerja yang layak, bukan sekadar formalitas semata.
Langkah konkret ke depan termasuk evaluasi berkala terhadap pelaksanaan job fair, peningkatan transparansi informasi lowongan kerja, serta pengembangan program pelatihan dan pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Dengan demikian, job fair dapat menjadi solusi yang efektif dan efisien dalam mengurangi angka pengangguran serta meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia.






