Film dokumenter “Road to Resilience” mengungkap kisah pilu Febri, remaja Indonesia yang terjerat dalam pengaruh ISIS di Suriah. Film ini bukan sekadar menyajikan narasi konflik, tetapi menyelami kompleksitas alasan di balik perekrutan ribuan orang, termasuk warga negara Indonesia, oleh kelompok radikal tersebut. Kisah Febri menawarkan perspektif yang lebih manusiawi dan kompleks tentang fenomena terorisme.
Febri awalnya berangkat ke Suriah bukan karena ideologi, melainkan karena rasa bersalah terhadap kepergian ibunya. Keinginan berbakti kepada ibunya mendorongnya mengambil risiko besar, meskipun menyadari bahaya yang mengintai. Film ini menyoroti sisi manusia dari permasalahan radikalisme, di luar narasi hitam-putih yang seringkali dijumpai.
Perjalanan Berliku Menuju Suriah dan Kembali ke Tanah Air
Perjalanan Febri ke Suriah sarat dengan rintangan dan bahaya. Ia menghadapi situasi yang penuh risiko di tengah konflik bersenjata.
Setelah kembali ke Indonesia, Febri dan ibunya menghadapi realita yang lebih berat. Stigma sosial menyelimuti mereka, membuat Febri dan ibunya terisolasi dari lingkungan sekitar.
Mereka berdua menghadapi penolakan dan kecurigaan dari masyarakat. Proses rehabilitasi dan pemeriksaan oleh BNPT dan Densus 88 pun harus dijalani.
Tantangan Adaptasi dan Stigma Sosial
Kehidupan pasca-Suriah penuh tantangan bagi Febri dan ibunya. Mereka harus berjuang keras untuk membangun kehidupan baru di tengah masyarakat yang belum tentu memahami perjalanan dan penyesalan mereka.
Keduanya berusaha melupakan masa lalu yang kelam. Namun, bayang-bayang stigma sosial tetap menghantui.
“Road to Resilience” secara cerdas menunjukkan bahwa memahami berbagai faktor yang mendorong seseorang bergabung dengan kelompok seperti ISIS sangatlah penting. Bukan hanya ideologi, tetapi juga faktor emosional dan personal yang berperan signifikan.
Proses Produksi yang Panjang dan Pesan Film
Proses pembuatan film “Road to Resilience” memakan waktu tujuh tahun. Durasi produksi yang panjang tersebut digunakan untuk mendalami cerita Febri dan keluarganya, mulai dari perjalanan mereka di Suriah hingga proses repatriasi dari kamp pengungsian.
Produser Ani Ema Susanti berharap film ini dapat membuka mata penonton tentang pentingnya komunikasi dalam mengatasi stigma masyarakat. Ani juga menekankan bahwa kisah Febri cukup mengejutkan, khususnya bagaimana ia bergabung dengan ISIS.
Film ini ingin menyampaikan pesan bahwa perjalanan hidup seseorang tidak selalu ditentukan oleh ideologi, tetapi juga oleh faktor-faktor emosional dan personal. “Road to Resilience” menekankan pentingnya komunikasi, pengertian, dan penerimaan terhadap individu yang berusaha memulai kehidupan baru pasca-trauma.
Film dokumenter “Road to Resilience” berhasil menghadirkan sebuah narasi yang mendalam dan menyentuh. Lebih dari sekadar kisah seorang remaja yang terjebak dalam konflik, film ini mengajak kita untuk merenungkan pentingnya empati, pemahaman, dan dukungan bagi mereka yang telah tersesat dan berusaha untuk kembali ke jalan yang benar. Kisah Febri mengingatkan kita akan kompleksitas permasalahan radikalisme dan pentingnya memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang ingin memulai kehidupan baru.






