Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah berusaha mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8%. Namun, upaya tersebut menghadapi tantangan akibat kebijakan pemangkasan anggaran belanja pemerintah pusat, yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.
Sebagai hasilnya, Presiden Prabowo meminta para menteri dan pimpinan lembaga negara untuk mengurangi anggaran belanja yang tidak menjadi prioritas, dengan total pemangkasan mencapai Rp 306,69 triliun.
Telisa Aulia Falianty, seorang ekonom sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), menyampaikan bahwa potensi risiko terhadap pertumbuhan ekonomi akan muncul jika kebijakan pemangkasan anggaran tidak tepat sasaran. Misalnya, jika alokasi anggaran dialihkan untuk program tertentu yang memiliki dampak terbatas dalam jangka pendek.
“Kegiatan MBG (makan bergizi gratis) misalnya, punya multiplier effect-nya, kegiatan perjalanan dinas punya multiplier effect-nya, nah ketika yang satu dikurangi untuk tambah yang lain, netto effect-nya ini yang harus diriset benar-benar,” kata Telisa.
“Nah untuk tahap awal ini efek kontraktifnya yang lebih kelihatan, sedangkan efek ekspansifnya ada jeda jadi ini bisa jadi downside risk di pertumbuhan ekonomi 2025,” tegasnya.
Telisa menekankan bahwa beberapa kebijakan yang dipangkas oleh Prabowo sebenarnya berperan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, seperti anggaran untuk perjalanan dinas yang dapat merangsang aktivitas di sektor transportasi dan perhotelan. Namun, apabila anggaran tersebut hanya difokuskan pada satu program saja, hal itu justru bisa mengurangi dampak positif terhadap pertumbuhan sektor-sektor tersebut.
“Karena biasanya yang transportasi, hotel, kan lebih bersifat langsung, tapi kalau MBG kan mungkin ada efek langsung tapi ada multiplier efek yang butuh waktu karena ini kan program baru,” ungkap Telisa.
Di sisi lain, Esther Sri Astuti, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyatakan bahwa konsep pemangkasan anggaran untuk mencapai efisiensi dan efektivitas memang seharusnya diterapkan oleh pemerintah. Hal ini penting untuk memastikan bahwa dana belanja negara dapat dimanfaatkan sepenuhnya demi kepentingan masyarakat.
Namun, ia menekankan bahwa yang lebih penting adalah realokasi anggaran tersebut untuk memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, anggaran tidak seharusnya hanya dialokasikan untuk program-program yang bersifat sementara, tetapi juga untuk inisiatif jangka panjang, seperti program swasembada pangan dan energi.
“Asalkan anggaran tersebut dialokasikan ke anggaran yang berdampak ke masyarakat luas dan jangka panjang, seperti untuk swasembada pangan dan energi, bukan hanya program yang sifatnya temporer,” ucap Esther.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa hal penting lainnya yang perlu dicatat dalam kebijakan pemangkasan anggaran ini adalah perlunya pemerintah menetapkan key performance indicator (KPI). Dengan adanya KPI, realokasi belanja yang telah dilakukan dapat diukur secara lebih jelas dan terarah.
“Intinya harus ada evaluasinya key performance indicatornya untuk setiap anggaran yang dikeluarkan jika ingin APBN tepat sasaran atau tidak. Selama ini kan memang anggaran banyak dialokasikan ke belanja rutin,” tuturnya.
“Nah, kalau anggaran yang sama dialokasikan ke belanja modal lebih banyak tidak ada efek downside perekonomian. Tapi memang kalau pengurangan anggaran semua belanja termasuk belanja modal maka itu akan berdampak penurunan pertumbuhan ekonomi,” tegas Esther.
Sebagaimana tercantum dalam diktum ketiga Inpres 1/2025, Prabowo menginstruksikan kepada seluruh menteri dan pimpinan lembaga untuk melakukan identifikasi rencana efisiensi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sesuai dengan besaran yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Identifikasi rencana efisiensi tersebut mencakup berbagai jenis belanja, baik operasional maupun non-operasional, yang meliputi belanja operasional perkantoran, pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin.
Namun, identifikasi rencana efisiensi ini tidak mencakup belanja pegawai dan belanja bantuan sosial. Selain itu, efisiensi ini diprioritaskan untuk belanja yang tidak bersumber dari pinjaman dan hibah, rupiah murni pendamping kecuali jika tidak dapat dilaksanakan hingga akhir tahun anggaran 2025—serta anggaran yang berasal dari penerimaan negara bukan pajak dan badan layanan umum, kecuali yang disetor ke kas negara pada 2025.
Selain itu, terdapat juga anggaran yang bersumber dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), yang digunakan sebagai underlying asset dalam rangka penerbitan SBSN tersebut.